Sabtu, 06 Agustus 2016

Senin, 31 Mei 2010

Turun di mana mbak?

Seorang penumpang perempuan bus malam jurusan Jakarta - Jepara hendak turun di daerah Kalinyamatan. Penumpang tersebut meninggalkan tempat duduknya bergegas maju ke depan di samping pintu keluar. Terjadi percapakan antara kernet bus dengan penumpang tersebut:

P=Penumpang
K=Kernet

K : Turun di mana mbak?
P : Pasar.
K : Turun di depan pasar saja ya. Kalau di pasar nggak bisa, di situ tempat orang jualan.

Penumpang perempuan itu pun tersenyum.

Senin, 25 Januari 2010

Pipa Air Spagheti

Mungkin jarang ditemui, apalagi di daerah saya di Jepara. Sepanjang hidup baru kali ini saya melihat model penyediaan air bersih yang secara fisik terlihat seperti spageti (istilah yang diberikan oleh MICHELLE ÉLAN KOOY), menyambungkan antara bak penampungan air dengan rumah penduduk menggunakan selang. Satu rumah tangga terhubung dengan satu selang, sehingga banyaknya selang tergantung jadi jumlah rumah yang membutuhkan air bersih tersebut. Gambar tersebut diambil di daerah pinggiran Kota Semarang.



Dari Kooy, istilah "spaghetti pipes" tersebut muncul pada disertasinya yang berjudul RELATIONS OF POWER, NETWORKS OF WATER: GOVERNING URBAN WATERS, SPACES, AND POPULATIONS IN (POST)COLONIAL JAKARTA. Di dalam disertasinya, Kooy menceritakan mengenai pipa spageti yang berada di Muara Kamal Jakarta Utara yang mendistribusikan air tanah dalam kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Tidak adanya akses air bersih oleh PDAM menyebabkan munculnya berbagai cara untuk mendapatkan air tersebut, salah satunya seperti pada gambar di atas.

Beberapa komentar unik tentang posting ini ada di thread kaskus.us berikut:
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2747829

Sabtu, 23 Januari 2010

Ruang Perkotaan yang Memisahkan Diri

A. Latar Belakang
Globalisasi dan urbanisasi telah menjadi fenomena yang terjadi pada perkembangan kota kontemporer yang terjadi di hampir seluruh kota di dunia baik di negara maju, negara berkembang maupun negara post-komunis. Selain itu, perkembangan teknologi baru dalam mobilitas dan infrastruktur telah membawa perubahan pada bentuk kota berupa polarisasi ruang secara sosial dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan marginalisasi dalam ruang. Proses ini menunjukkan adanya dampak sosial yang sangat besar dari perkembangan kota metropolitan saat ini. Cara pandang baru dalam memahami kondisi kota saat ini adalah kota sebagai proses sosio-teknikal, dimana proses pembangunan infrastruktur jaringan (transportasi, air bersih, energi dan telekomunikasi) secara fisik dan teknis tetap harus mempertimbangkan aspek sosial untuk menciptakan keadilan untuk menciptakan ruang yang lebih demokratis bagi penduduk kota.

Urbanisasi dan perkembangan kota yang terjadi khususnya di kota metropolitan mempunyai paradoks. Di satu sisi, kota dianggap sebagai pusat pertumbuhan dan memacu berkembangannya kegiatan ekonomi bahkan yang bersifat global untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kota yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat dan penghasilan mereka. Namun di sisi lain kota masih menyisakan permasalahan klasik yaitu adanya kemiskinan yang berujung pada munculnya sektor-sektor informal perkotaan serta kawasan kumuh. Seolah-olah pertumbuhan ekonomi kota tidak mampu mendorong kesejahteraan sebagian penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan tersebut salah satunya terjadi karena kurang atau tidak adanya akses terhadap pelayanan dasar perkotaan yang seharusnya disediakan oleh pemerintah. Kemiskinan perkotaan tersebut sebenarnya bukanlah merupakan masalah pada materi berupa kekayaan, harta, penghasilan dan sebagainya, melainkan merupakan miskin karena tidak ada atau minimnya akses terhadap pelayanan dasar perkotaan baik yang bersifat jaringan seperti air minum, listrik, sanitasi maupun yang bersifat sarana perkotaan seperti sarana pendidikan dan sarana kesehatan.

Perkembangan perkotaan pada era post-modern telah mengarah pada polarisasi secara spasial dan sosial yaitu dengan adanya pusat-pusat kegiatan ekonomi berbasis high-tech dan munculnya gated communities (komunitas berpagar) diantara lautan kemiskinan perkotaan. Hal ini menunjukkan kesenjangan dan perbedaan yang sangat mencolok antara ruang perkotaan yang ’kaya’ dan ruang perkotaan yang ’miskin’. Di sinilah terjadi segregasi secara spasial. Munculnya kawasan-kawasan baru tersebut menggantikan lahan yang semula ditempati orang miskin untuk diubah menjadi kawasan elit dan mewah baik yang terjadi di pusat kota maupun di kawasan pinggiran. Proses rehabilitasi dan urban renewal inilah yang disebut sebagai gentrifikasi yang pada akhirnya ruang-ruang perkotaan itu dimanfaatkan oleh mereka yang berpenghasilan tinggi menjadi real estate. Fenomena ini hampir terjadi di seluruh kota metropolitan di berbagai belahan dunia.

Kenyataan di atas merupakan ciri-ciri fragmentasi kota. Konsep fragmentasi kota tidak terlepas dari konsep segregasi baik secara ekonomi, sosial maupun budaya. Hal itu dapat diartikan sebagai penciptaan pembagian spasial (spatial divide) menjadi beberapa kelompok manusia. Situasi tersebut dapat muncul secara spontan, tetapi juga dapat ditentukan. Salah satu contoh segregasi pada masa lalu adalah ghetto. Ghetto adalah nama asli daerah Yahudi di Venice selama masa Renaissance Italia. Sekarang kata ‘ghetto’ diterapkan pada daerah perkotaan dimana etnik, budaya atau agama minoritas banyak representasinya. Salah satu contohnya adalah network ghetto, dimana di suatu kawasan tidak memiliki akses terhadap jaringan infrastruktur yang memadahi. Di negara berkembang, segregasi kota yang disengaja (deliberate urban segregation) sering terjadi. Hal tersebut dapat muncul pada perumahan dibawah standard yang tumbuh dengan cepat di kawasan perumahan informal.

Faktor lain dari fragmentasi kota adalah gentrifikasi. Gentrifikasi merupakan proses rehabilitasi dan urban renewal di kawasan tempat tinggal pusat kota yang semula bersifat kumuh untuk diubah menjadi kawasan yang bernilai tinggi melalui pembangunan dan investasi untuk kalangan menengah ke atas baik untuk kawasan tempat tinggal seperti apartemen maupun untuk kawasan bisnis. Kawasan yang digentrifikasi biasanya dihuni oleh masyarakat golongan menengah ke atas yang semula tinggal di daerah pinggiran kota. Masyarakat miskin yang ada termarginalkan sehingga harus berpindah dari kawasan yang digentrifikasi. Konsekuensi dari adanya gentrifikasi adalah pemindahan penduduk asli yang tinggal di pusat kota, mereka yang terlalu miskin untuk dapat tinggal di pusat kota mengalami gentrifikasi, meningkatnya tunawisma, dan mempercepat fragmentasi kota secara sosial dan geografis. Untuk mereduksi dampak dari gentrifikasi, beberapa negara memperbaiki kualitas tempat tinggal di pusat kota melalui program perbaikan perumahan secara partisipatif, sehingga penduduk asli masih bisa menempati lahan mereka. Hal ini dilakukan untuk memastikan keberlanjutan pencampuran penduduk secara sosial untuk meminimalkan kesenjangan sosial melalui tempat tinggal dan apartemen yang murah untuk mereka yang berpenghasilan rendah (Mancebo, 2003).

Pembangunan kawasan-kawasan baru khususnya untuk masyarakat berpenghasilan tinggi dengan kualitas hunian yang tinggi khususnya di pusat kota menimbulkan fenomena urban secession di seluruh dunia yaitu penciptaan kantong perkotaan otonom (autonomous urban enclaves) yang menghindari aturan-aturan kehidupan kota dan manajemen kota yang sebelumnya diterapkan pada penduduk kota secara keseluruhan. Secessionist bertanggungjawab pada sistem pelayanan mereka sendiri (seperti air bersih, pengumpulan sampah, atau lampu penerangan umum) kemudian menghindari untuk membiayai layanan kolektif yang tidak memperhatikan mereka lagi. Mereka tidak mempercayai otoritas lokal dan membiayai sistem keamanan dan proteksi mereka sendiri dari ancaman dunia luar. Istilah lain dari urban secession adalah gated communities (komunitas berpagar) yang menunjukkan ketertutupan komunitas tersebut dari dunia luar (Mancebo, 2003). Pada contoh yang lain, perkembangan kota yang bersifat meloncat ke arah pinggiran kota mempunyai dampak pada aspek sosial dan spasial yaitu segregasi sosial dan fragmentasi spasial dalam bentuk kota baru dan kawasan perumahan baru yang tertutup yang berada di daerah pinggiran (Cengiz dan Altinok, 2008).

B. Fenomena Global Kota Metropolitan

Fragmentasi kota merupakan istilah yang pertama kali digunakan untuk menjelaskan mengenai disintegrasi ruang dengan lingkungan kota yang lebih luas atau sekitarnya secara sosial. Fragmen ruang kota merupakan ruang “terlepas” dan “memisah” dari kehidupan perkotaan yang luas. Pada dasarnya mereka yang mempunyai kemampuan ekonomi berupa kaum elite berpenghasilan tinggi menempati ruang baik permukiman maupun ruang bisnis/komersial cenderung untuk memisahkan diri dari lingkungan perkotaan yang lebih luas (withdrawn from the wider urban fabric). Graham dan Marvin (2001) menyebutnya sebagai secessionary urban space. Ruang-ruang tersebut bersifat defensif dan terasa takut akan urban mixing. Pada umumnya secessionary urban space bersifat premium networked space pula yaitu dihubungkan dengan infrastruktur jaringan (baik transportasi, air bersih, energi maupun komunikasi) untuk dapat mempertahankan kehidupannya baik untuk kegiatan konsumsi dan maupun produksi. Namun pada saat yang sama, ruang yang terhubung secara eksklusif dengan ruang-ruang (favoured and valued user and place) lain melalui media jaringan infrastruktur tidak terhubung dengan lingkungan sekitar bahkan bersifat defensif dengan sistem penjagaan dan pengawasan yang ketat.

Untuk mengeksplorasi bagaimana urban splintering dan proses unbundling infrastruktur secara mutual saling mendukung dalam membentuk space of seduction pada splintering metropolis, terdapat 3 hal yang dianalisis sebagai aspek sosial (Graham and Marvin, 2001), yaitu:
1. Meluasnya kecenderungan menuju polarisasi sosial dan pembentukan secessionary network spaces (ruang jaringan yang memisah);
2. Penarikan diri dari jaringan bersubsidi silang;
3. Pengaruh polarisasi sosial karena adanya teknologi komunikasi dan informasi.
Banyak sekali fenomena kontemporer yang terjadi di perkotaan khususnya metropolitan dengan seiring dengan kemunculan teknologi jaringan yang mampu menghubungkan secara lokal, nasional dan global. Pada dasarnya fenomena tersebut merupakan pemisahan ruang yang menjauhkan diri dari komunitas atau lingkungan yang lebih luas yang bersifat tertutup dengan sistem keamanan yang tinggi, sulit untuk diakses dan hanya anggotanya yang bisa masuk, namun mereka bisa bertahan hidup dengan adanya supply dari jaringan infrastrukturnya dan bisa terhubung dengan dunia luar terutama menggunakan layanan komunikasi. Graham dan Marvin (2001) mengkategorikan urban fragmentation ke dalam dua dimensi yang berbeda yaitu social landscape dan economic enclaves yang dijelaskan melalui metode deskriptif dengan berbagai contoh kasus di berbagai kawasan di belahan dunia dan dalam berbagai skala analisis.
Social landscape yang bersifat premium networked space merupakan fragmen ruang yang diberikan manfaat yang lebih karena adanya infrastruktur jaringan premium khusus pada kalangan tertentu sehingga terjadi ketimpangan dengan keadaan di sekitarnya. Beberapa hal dapat terlihat dari beberapa trend yang berlaku pada beberapa aspek perkotaan yaitu (Graham and Marvin, 2001):
 Pembangunan fast lane pada jalan tol dengan memanfaatkan teknologi yang membuat pengguna kendaraan yang mampu membayar melewati jalur yang lebih cepat. Jalan tol yang dibedakan berdasarkan cara pembayaran secara elektronik (fast lane) dan manual serta keberadaannya dalam jalur yang sama dengan jalan umum, sehingga pengguna kendaraan yang mampu membayar dapat memilih pada yang memberikan pelayanan yang lebih baik atau cepat;
 Jaringan telekomunikasi dan internet dengan perbedaan paket layanan untuk memberikan kemudahan berbeda kepada pelanggan berdasarkan tarif tertentu;
 Sistem skywalk yang memudahkan perpindahan dari satu gedung ke gedung lain sehingga tercipta sistem interkoneksi dari berbagai pusat kegiatan seperti kantor, pusat perbelanjaan dan bahkan tempat tinggal;
 Adanya pajak lokal khusus yang dikenakan untuk memperoleh layanan infrastruktur ekstra seperti sanitasi, kebersihan, dan infrastruktur untuk kawasan Bussiness Improvement District di Amerika Serikat dengan penggunaan CCTV (Closed-circuit Television) di tempat-tempat umum dan privat;
 Gated communities yang dilengkapi dengan fasilitas eksklusif yang dilengkapi dengan jalan privat yang tertutup untuk umum. Untuk memasuki kawasan tersebut, orang harus menunjukkan identitas khusus melalui penjagaan yang ketat dan kamera pengawas (CCTV);
 Kota-kota baru yang dihubungkan dengan sistem infrastruktur jaringan premium (rebundled city );
 Smart home (rumah cerdas)
Sedangkan ruang yang dalam berbagai variasi dibentuk dari proses splintering urbanisme menurut (Graham & Marvin, 2001) dibagi menjadi 7 ruang economic enclave yang merupakan tempat atau ruang yang terlepas/terfragmentasi dari lingkungan kota atau wilayah yang lebih luas sementara didukung adanya jaringan infrastruktur dan dapat berhubungan secara internasional melalui jaringan glocal dalam hal pertukaran ekonomi, sosial dan budaya, yaitu:
 Daerah-daerah kantong (enclaves) yang pada sebagian besar kota-kota pelayanan keuangan yang ‘global’ seperti di London dan New York;
 Pembangunan daerah-daerah kantong (enclaves) pada ‘megacities’ di negara berkembang;
 Munculnya daerah-daerah kantong (enclaves) inovasi dalam layanan multimedia;
 Ruang industri baru untuk inovasi dan produksi ‘high-tech’;
 Ruang yang disusun untuk menuju investasi dalam industri manufaktur;
 Daerah kantong (enclave) berupa ‘back office’ untuk data processing dan call centres;
 Ruang di-customized dalam zona logistik di pelabuhan dan bandara internasional.
Di antara beberapa jenis ruang perkotaan tersebut yang paling mencolok dan terjadi di hampir semua kota di dunia adalah munculnya gated communities. Di Asia Tenggara, tipe gated communites merupakan hasil tiruan dari Amerika Serikat namun dengan fungsi yang berbeda antara gaya hidup (lifestyle), gengsi (prestige) dan keamanan lingkungan. Gated communities di Asia Tenggara menunjukkan pencampuran dalam tiga jenis tersebut. Basis dari pembangunan real estate di Asia Tenggara adalah keamanan jika ditinjau dari latar belakang sosio-ekonomi dan budaya yang berbeda. Namun prestige dan lifetyle menjadi salah satu aspek penting dalam pembangunan tersebut untuk kalangan menengah ke atas untuk tujuan pemasaran real estate tersebut. Di Indonesia pengembang lahan menciptakan selera konsumen dan kebanyakan tanpa adanya campur tangan dari pemerintah untuk lansekap baru dengan elemen yang menawarkan makna simbolik daripada penggunaan yang praktis (Leisch, 2002).

Para pengembang gated communities dan kompleks kondominium dalam berbagai kasus memulai mendapatkan manfaat dari liberalisasi dan konsumerisme infrastruktur dengan membangun dan menyediakan paket utilitas, jalan, telekomunikasi dan bahkan layanan transportasi mereka sendiri. Dalam ruang tersebut, jaminan keamanan dengan menyaring konektivitas antara ruang tersebut dengan kota yang lebih luas melalui tembok, gerbang, CCTV dan sistem keamanan pribadi dikombinasikan dengan konektivitas yang baik untuk local maupun glocal melalui jalan tol menuju bandara, jaringan air bersih dan energi yang premium, dan telekomunikasi (Graham and Marvin, 2001).

Gated communities (komunitas berpagar) atau yang sering juga disebut sebagai Master Planned Communities di Indonesia telah dimulai sejak pertengahan tahun 1980-an. Kebutuhan akan fungsi keamanan serta kebutuhan sarana dan prasarana tempat tinggal yang eksklusif untuk kalangan berpenghasilan menengah atas khususnya etnis China telah mendorong para pengembang perumahan membangun kota baru maupun kawasan baru baik yang terletak di dalam kota maupun di daerah pinggiran. Pada umumnya komunitas berpagar mempunyai karakteristik perumahan dengan tipe satu gerbang untuk memasuki kawasan tersebut. Penjagaan gerbang tersebut sangat ketat bahkan untuk memasukinya melalui pemeriksaan dan pengawasan menggunakan CCTV. Beberapa real estate juga dilengkapi dengan segala kebutuhan eksklusif seperti sekolah, pusat perbelanjaan, pusat kesehatan dan sebagainya baik yang ada di dalam kawasan maupun yang ada di luar kawasan yang dibuka untuk umum.

Permintaan kebutuhan perkembangan kota melalui pembangunan kota baru baik yang ada di pusat kota maupun di kawasan pinggiran khususnya berkaitan dengan kebutuhan keamanan dan gaya hidup eksklusif telah mendorong adanya segregasi ruang dalam tiga cara yaitu pertama. polarisasi kelompok berpenghasilan menengah atas diantara lautan penduduk miskin yang ditunjukkan dengan adanya kawasan perumahan eksklusif; kedua, kota baru yang didesain untuk memenuhi kebutuhan eksklusif penduduk di dalamnya dan dari segi keamanan tingkat tinggi; dan ketiga manajemen pembangunan kawasan kota baru dikelola secara mandiri terlepas dari pengelolaan pemerintah kota/kabupaten (Firman, 2004).

Di Jakarta, tayangan iklan kawasan perumahan baru di televisi selalu menawarkan kemudahan aksesibilitas dalam menuju lokasi. Hampir tiap lokasi terhubung dengan jalan utama kota yang hanya ditempuh dalam waktu sekian menit menuju pusat kota, bebas dari kawasan 3 in one dan yang paling menakjubkan adalah keberadaannya di mereka klaim dekat dengan interchange jalan tol. Sebagian perumahan mewah tersebut berlokasi di dekat dengan Jakarta Outer Ring Road (JORR) yang saat ini sedang dikerjakan oleh pemerintah. Kawasan tersebut juga menawarkan kawasan yang bebas banjir, ROW jalan yang lebar, serta dilengkapi dengan fasilitas eksklusif. Bahkan salah satu perumahan menawarkan sistem penyediaan air minum sendiri yang setelah melalui proses pengolahan tertentu, air tersebut dapat langsung diminum. Semuanya itu dapat dinikmati oleh penghuni perumahan baik yang bersifat rumah tunggal maupun rumah susun (apartemen).

Dibalik kemewahan yang disediakan oleh developer, perumahan real estate tersebut seolah-olah berada di lautan ruang permukiman miskin yang dihuni oleh sebagian besar penduduk kota. Kawasan tersebut membentuk kantong-kantong (enclaves) yang mewadahi penghuninya. Perumahan mewah tersebut terhubung pada kawasan-kawasan eksklusif lainnya di kota melalui jalan tol yang secara langsung menghubungkan antarkawasan tersebut. Mereka mempunyai pengelolaan sendiri fasilitas dan prasarana permukiman yang secara khusus disediakan untuk penghuninya. Penjagaan secara ketat melalui sistem keamanan 24 jam selalu mengawasi dan membatasi siapa saja yang masuk ke perumahan tersebut. Secara umum, seolah-olah mereka membentuk kota di dalam kota dan memisahkan diri dari kehidupan perkotaan secara luas baik secara sosial maupun manajemen kawasan karena memiliki tata kelola kawasan yang berdiri sendiri.

Fenomena global mengenai fragmentasi kota di kota metropolitan telah pula sampai dan mempengaruhi perkembangan pembangunan perkotaan di Indonesia. Memang pada beberapa kota di Indonesia tidak menunjukkan sifat yang terlalu ekstrim sebagaimana penjelasan pada fenomena global. Beberapa gated communities tidak sepenuhnya memisahkan diri dari lingkungan sekitar. Letaknya yang berdekatan dengan permukiman penduduk berupa kampung telah mendorong pada pengembang melakukan rancangan siteplan yang memungkinkan kawasan real estate tersebut juga dapat diakses oleh masyarakat sekitar. Selain itu, sifat eksklusif perumahan baru pada akhirnya juga mengalami masa pencampuran dengan kegiatan perkotaan umumnya dengan masuknya sektor informal serta mulai digunakannya beberapa fasilitas umum di dalam kawasan oleh penduduk di luar ruang hunian tersebut. Pada beberapa perumahan, pembatasan akses masuk juga tidak sepenuhnya terjadi. Para penjaga (satpam) perumahan tersebut kadang kala mengizinkan dengan leluasan penduduk setempat atau penjual makanan, sayur, tukang pengantar koran untuk memasuki gated communities tanpa izin dan hal tersebut dianggap biasa. Eksklusifitas telah memudar. Dan hal ini menunjukkan adanya kecenderungan urban mixing yang dapat menghilangkan kesenjangan sosial dan spasial.

C. Faktor-faktor Munculnya Fragmentasi Kota
Kota terfragmentasi menggambarkan suatu kondisi dan kecenderungan yang ekstrim dan simetris dimana di satu sisi mereka yang secara sosial dan ekonomi tersingkirkan menolak nilai masyarakat yang berada di sekitarnya dan mengambil posisi sebagai oposisi yang keras pada institusi politik, administratif, pengadilan dan pelaksana hukum sedangkan di sisi lain mereka yang kaya menolak rasa tanggung jawab sosial dan mengunci diri mereka sendiri dalam komunitas privat yang tidak dapat didekati yang dibuang dari yurisdiksi publik. Dampaknya, komunitas dan keterhubungan perkotaan terdisintegrasi. Istilah kota terfragmentasi (fragmented city) muncul akhir tahun 1980-an untuk menjelaskan hasil dari disintegrasi tersebut. Para analis mengidentifikasi adanya 4 faktor yang berkontribusi dalam fragmentasi yaitu 1) ekstrimnya keberagaman referensi dan adat istiadat diantara penduduk kota, 2) meningkatnya disparitas sosio-ekonomi, 3) pertumbuhan eksklusi dinamis yang ditemukan pada etnik, sosial, atau dasar budaya dan disafiliasi . Istilah lain yang digunakan untuk fragmentasi adalah balkanisasi (balkanization), archipelagisasi (archipelagization), dan polarisasi sosio-spasial (sociospatial polarization) (Mancebo, 2003).

Kecenderungan perkotaan yang sesungguhnya adalah menuju fragmentasi perkotaan spasial yang digeneralisasi. Jika trend ini menuju pada kondisi yang ekstrim, hasilnya adalah terpisahnya masyarakat menjadi komunitas kecil yang jumlahnya banyak sekali dengan ikatan yang didasarkan pada kedudukan sosial dan budaya, etnik, referensi agama, masing-masing tertutup dalam ruang privatnya sendiri. Teritori kota sebagai keseluruhan akan cenderung menjadi koleksi distrik privat dimana kelompok akan tinggal dalam cara sendiri yang kurang lebih cukup. Kota kemudian akan kehilangan fungsi integratif dan fragmentasi spasial akan membawa pada fragmentasi sosial (Mancebo, 2003).

Hubungan antara berbagai ruang perkotaan dan semua jenis infrastruktur jaringan (transportasi, air bersih, energi dan telekomunikasi) dapat dijelaskan secara cross-cutting, komprehensif, lintas disiplin ilmu, internasional (berlaku untuk semua jenis kota negara maju, berkembang dan post-komunis), serta berbagai level analisis spasial (dari level makro sampai mikro) oleh teori splintering urbanism. Teori ini mengkaji fenomena keberagaman dan disparitas ruang perkotaan sangat erat kaitannya dengan proses segmentasi dan disintegrasi infrastruktur jaringan baik di kota maupun antar kota. Disparitas yang terjadi baik pada ruang maupun infrastruktur jaringan ini hampir terjadi di semua kota di dunia. Aspek perubahan yang terjadi sepanjang masa pembangunan kota yaitu dari mulai adanya pembangunan infrastruktur yang terintegrasi yang bersifat monopoli alamiah (modern infrastructural ideal) sampai pada masa sekarang yang mempunyai kecenderungan unbundling atau disintegrasi menjadi berbagai sistem penyediaan infrastruktur menjadi kajian dan dihubungkan dengan kondisi ruang kontemporer yang cenderung terfragmentasi, bersifat defensif dan memisahkan diri dari lingkungan sekitar dan kota yang lebih luas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkannya adalah keterbatasan kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan yang menyebabkan krisis infrastruktur perkotaan, perkembangan kota yang meluas ke daerah pinggiran, perubahan sistem politik ekonomi dalam pembangunan infrastruktur, kegagalan konsep komprehensif ideal dalam perencanaan kota dengan banyak munculnya proyek pembangunan perumahan baru dan kota baru oleh swasta yang terlepas dari perencanaan kota yang komprehensif terintegrasi dan adanya gerakan sosial dalam kritik terhadap infrastruktur (Graham dan Marvin, 2001).

Di Indonesia, terdapat beberapa faktor telah mendorong perubahan perkembangan kota yang terfragmentasi. Pertama adalah berkembanganya sistem perekonomian dunia yang liberal dengan munculnya dan dominasinya sektor swasta dalam pembangunan perkotaan khususnya untuk kegiatan bisnis komersial serta penyediaan tempat tinggal. Peran swasta dalam pembangunan kota dan penyediaan perumahan telah menggeser peran pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan sektor konstruksi khususnya perumahan yang saat ini didominasi oleh swasta. Pemerintah pada tahun 1970-an dan 1980-an banyak sekali membangun perumahan yang dilakukan oleh badan usaha milik pemerintah seperti Perumnas. Kawasan perumahan yang dibangun dibuat untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah dengan konsep pembangunan berimbang 1 : 3: 6. Perkembangan industri konstruksi perumahan yang disediakan oleh pemerintah berkembang cukup pesat pada saat itu. Saat ini, pemerintah juga masih mendorong terciptanya pembangunan perumahan untuk kalangan menengah ke bawah dengan penyediaan rumah susun maupun rumah sederhana sehat. Kedua adalah runtuhnya perencanaan kota yang komprehensif ideal dengan mengintegrasikan pembangunan dalam bidang infrastruktur dan pelayanan dasar perkotaan dengan pembangunan ruang. Pada tahun 1970-an pembangunan perkotaan dilaksanakan secara komprehensi dengan mengintegrasikan pembangunan perumahan maupun kawasan baru dengan infrastruktur melalui program P3KT. Pemerintah pusat dengan sistem sentralisasi tersebut sangat berperan penting dalam pembiayaan yang diperoleh dari pinjaman maupun hibah luar negeri. Namun dengan kondisi sekarang, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah maupun pusat dalam menyediakan infrastruktur dasar serta adanya perkembangan perkotaan yang bersifat sprawl tidak didukung oleh integrasi jaringan infrastruktur yang secara terpusat yang menyebabkan pembangunan infrastruktur lambat tidak seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan ruang khususnya permukiman yang ada di daerah pinggiran. Infrastruktur perumahan baru kebanyakan disediakan dan dikelola oleh pihak swasta sendiri dengan penentuan tarif layanan sendiri seperti pada kasus air bersih dan tidak langsung diberikan kepada pemerintah sebagai barang publik.

Rencana kota khususnya rencana tata ruang dibuat pemerintah mengenai alokasi kegiatan-kegiatan baik yang untuk bermukim maupun untuk kegiatan bisnis dan komersial mempunyai sifat yang komprehensif yang mengatur segala aspek tata ruang. Ruang dan jaringan infrastruktur direncanakan dan diimplementasikan melalui konsep terintegrasi. Hal ini dilakukan karena kota dianggap sebagai kepentingan publik yang mampu mengakomodir kebutuhan penduduknya untuk tinggal dan beraktivitas secara produktif. Namun dewasa ini, rencana kota tersebut telah mengalami pergeseran fungsi dimana ketika investasi privat masuk untuk membangun kawasan, sudah tidak lagi mengacu pada rencana tata ruang. Proyek-proyek pembangunan tersebut telah melepaskan diri dari rencana tata ruang.

D. Tantangan Pembangunan Perkotaan di Indonesia

Apa yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa kota mengalami fragmentasi, ruang perkotaan seperti ruang permukiman dan ruang bisnis/komersial sudah terpecah-pecah ke dalam pecahan-pecahan kecil bahkan tarafnya sebagian sudah bersifat memisahkan diri (splintering) dari sistem dan pengelolaan yang lebih luas. Ruang perkotaan khususnya ruang permukiman berupa gated communites telah menjadi salah satu contoh ruang yang memisahkan diri dengan cara terhubung dan memiliki sistem pengeolaan khususnya infrastruktur secara mandiri dan terlepas dari sistem infrastruktur kota yang komprehensif dan terintegrasi. Jenis real estate tersebut dilengkapi dengan utilitas kota, sistem defensif seperti tembok dan gerbang dan sistem keamanan yang tinggi dan secara sosial mempunyai rasa takut untuk berbaur dengan komunitas perkotaan yang ada di sekitarnya maupun yang lebih besar. Namun mereka terhubung dengan sistem infrastruktur yang mandiri yang mampu melayani mereka dengan baik dan berkualitas.

Gated communities menjadi salah satu fenomena yang dihadapi pemerintah dalam menciptakan ruang yang lebih demokratis. Hal ini akan menjadi tantangan pemerintah sebagai penyedia layanan publik baik dalam pengaturan maupun pengelolaan untuk mampu menyediakan kebutuhan ruang dan infrastruktur yang adil dan merata bagi seluruh penduduk kota tanpa membedakan status sosial. Segala bentuk perencanaan dan pemanfaatan ruang diupayakan agar dapat dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Penyediaan utilitas kota seperti air bersih, listrik dan sanitasi serta sarana pendidikan dan kesehatan oleh pemerintah mampu memberikan pelayanan yang prima bahkan tersedia sangat cukup di berbagai tempat di daerah perkotaan. Hal ini dapat mendorong keadilan ruang dan infrastruktur antara pemerintah dan swasta.
Untuk itu, beberapa saran yang bisa diupayakan untuk menciptakan ruang dan infrastruktur yang lebih demokratis adalah sebagai berikut:
1. Pesatnya sektor swasta dalam pembangunan kota khususnya kawasan perumahan dan bisnis/komersial harus disikapi sebagai realitas yang ada. Dengan demikian, rencana tata ruang perkotaan harus dapat mengakomodir kepentingan swasta dalam pembangunan perkotaan agar dapat terintegrasi dengan pembangunan kota secara umum sehingga tidak terlepas sendiri. Rencana tata ruang tersebut harus mampu menjadi alat untuk implementasi investasi pengembang seperti real estate sehingga menunjang integrasi jaringan infrastruktur dan layanan dasar perkotaan yang terintegrasi agar dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat dengan sifat layanan dan tarif yang adil. Dengan demikian, ruang-ruang permukiman yang dibuat oleh pihak swasta harus mampu menciptakan keadilan ruang dan diupayakan bersifat urban mixing.
2. Mendorong pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dan layanan dasar perkotaan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dengan harga murah dan dapat diakses dengan mudah. Hal ini bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan pada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dasar perkotaan.
3. Pada saat ini dan mendatang pemerintah tidak hanya mengkampanyekan tata ruang dengan tema ‘hijau’ yang mendukung keberlanjutan ekologi, namun juga mendorong tata ruang dengan tema ‘keadilan’ atau ‘sosial’ yang mampu menciptakan kehidupan perkotaan yang demokratis dan adil sehingga pelayanan publik berupa infrastruktur dan layanan dasar yang disediakan pemerintah mampu diakses oleh semua orang, tersedia dengan cukup dan mendorong terciptakan kehidupan masyarakat yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.




Referensi:
Firman, Tommy. 2004. “New Town Development in Jakarta Metropolitan Region (JMR): a Perspective of Spatial Segregation”. Habitat International, Vol. 28(3), pp. 349-368.
Graham, Stephen and Marvin, Simon. 2001. Splintering Urbanism: Networked Infrastructure, Technological Mobilities, and the Urban Condition. London: Routledge.
Leisch, Harald. 2002. “Gated communities in Indonesia”. Cities, Vol. 19(5), pp. 341-350.
Mancebo, François. 2003. "Urbanism." Encyclopedia of Community. 2003. SAGE Publications. 4 Sep. 2009. .

Sabtu, 16 Januari 2010

Wajah Yang Telanjang


Paul Ekman merupakan seorang psikolog yang mempunyai keahlian untuk membaca emosi atau perasaan seseorang hanya dengan melihat wajah seseorang dalam waktu dua detik atau sesaat. Emosi seseorang tersebut terlihat dalam sekejap diantara mimik wajahnya yang secara umum menggambarkan emosi yang umum. Namun pada saat tertentu, Ekman mampu mendeteksi gerakan wajah yang menyingkapkan perasaan seseorang sesungguhnya diantara ekspresi sebenarnya yang disembunyikannya.

Kemampuan luar biasanya tersebut dapat terlihat dari beberapa kasus. Ekman mampu memperkirakan bahwa seorang saksi dalam pengadilan berbohong dengan melihat tayangan video. Mimik wajah yang berubah dalam waktu singkat diantara ekspresi wajahnya yang menyembunyikan perasaan sesungguhnya. Perubahan wajah Kato Kaelin sebagai saksi dalam persidangan kasus O.J. Simpson dapat dibaca oleh Ekman. Kaelin pada saat itu dalam sepersekian detik mengubah wajahnya yaitu hidungnya mengerut sewaktu mengencangkat otot levator labii superiors alaeque nasi-nya, giginya terbuka lebar dan alisnya turun dengan hampir sepenuhnya satuan aksi sembilan. Mimik tersebut menunjukkan rasa jijik, juga marah padahal kelihatan dia lembut menurut kebanyakan orang, hampir tidak kelihatan. Hal tersebut tidak dapat diketahui oleh orang lain di persidangan. Pada kasus yang lain, Dalam konferensi pers Philby tahun 1955 ketika tersingkap sebagai mata-mata Soviet tampak menurut kebanyakan orang bahwa dia tidak berbohong untuk berkhianat. Namun Ekman tahu bakwa dia berbohong berdasarkan mimik wajah.

Dari beberapa kasus di atas dapat diketahui bahwa wajah merupakan sumber informasi yang kaya mengenai emosi atau perasaan seseorang sesungguhnya. Bisa saja dalam keadaan biasa, wajah seseorang berbentuk sedemikian rupa untuk menutup perasaan hati sesungguhnya, namun pada waktu beberapa detik atau dalam sekejap, perasaan seseorang tersebut terekspresikan dalam wajahnya. Kutipan Ekman yang cukup penting yaitu “informasi pada wajah kita tidak hanya sekadar isyarat tentang yang terjadi dalam pikiran kita, tetapi juga mengatur yang akan terjadi dalam pikiran kita”. Mimik wajah menunjukkan perasaan seseorang dan berkaitan erat pula dengan kondisi bagian tubuh yang lain. Ekman menguraikan mengenai dasar fisiologis untuk cara kita membuat cuplikan tipis tentang orang lain. Kita semua bisa membaca pikiran orang lain dengan mudah dan otomatis karena petunjuk-petunjuk yang kita perlukan untuk memahami seseorang atau situasi sosial memang tersedia di wajah-wajah semua orang yang kita jumpai. Untuk mengetahui hubungan antara mimik wajah, kondisi tubuh dan perasaan seseorang. Ekman melakukan berbagai eksperimen. Eksperimen sederhana antara Ekman dan Friesen dengan duduk berhadap-hadapan dengan mimik wajah marah dan cemas dengan dilakukan setiap hari namun mereka merasa sangat tidak enak setelah melakukannya. Kemudian mereka memantau tubuh mereka selama gerakan-gerakan wajah tertentu dengan berbagai variasi dan kombinasi gerak bagian wajah (alis, pipi, bibir, mata dsb). Hasilnya, mimik wajah saja cukup untuk menciptakan perubahan mencolok dalam sistem saraf otonom yang bisa membangkitkan kesedihan, kesusahan, kemarahan dsb mempengaruhi bagian tubuh yang lain (misal, tangan bisa lebih panas).

Eksperimen kedua adalah Ekman, Friesen, dan Levenson mendokumentasikan efek mimik wajah dan kondisi bagian tubuh yang lain, dengan menghubungkan dengan monitor untuk mengukur laju denyut jantung dan temperatur tubuh pada beberapa relawan (dalam fisiologi dikenal sebagai tanda-tanda emosi seperti marah, sedih, dan takut). Kelompok pertama, setengah relawan diminta untuk mengingat pengalaman masing-masing yang berat, setengahnya diminta untuk memeragakan mimik-mimik wajah yang sesuai dengan emosi tersebut. Kelompok kedua diminta berakting menunjukkan tanggapan fisiologis yang sama, ternyata hasilnya kenaikan denyut jantung sama, kenaikan suhu tubuh sama dengan kelompok pertama.

disadur dari 'blink' karya Malcolm Gladwell